6 cara sederhana mengajarkan toleransi beragama dalam keluarga
Hidup dalam perbedaan, baik itu berbeda
agama, suku, budaya, dan ras, adalah hal yang biasa, karena memang sejak awal
bangsa Indonesia sudah hidup dalam perbedaan.
Para tokoh agama di Tanah Air meyakini
semua ajaran agama di dunia ini mengajarkan perdamaian terhadap sesama manusia.
Untuk menciptakan kedamaian, harus dimulai dari diri sendiri. Maka baru bisa
terciptalah damai terhadap sesama.
Di dalam budaya yang majemuk seperti di
Indonesia, sangat penting bagi kita untuk merawat toleransi. Toleransi tidak
bisa hanya diajarkan saja, tapi harus dialami dan dirasakan.
Selama perjalanannya lima tahun merawat
toleransi di Nusantara, organisasi SabangMerauke mengadakan diversity dinner dengan
mengangkat tema diskusi “Merawat Toleransi, Melintas Sekat Religi”,
pada akhir November lalu. Acara itu dihadiri oleh 6 tokoh lintas agama, yaitu:
- I Wayan
Kantun Mandara (Ketua Parisada Hindu Dharma Indonesia Jakarta Pusat)
- Pdt.
Jose Carol (Penasihat Sinode Jemaat Kristen Indonesia)
- Maha
Pandita Utama Suhadi Sendjaja (Ketua Umum Parisadha Buddha Dharma Niciren
Syosyu Indonesia)
- Muchlis
M. Hanafi (Wakil Direktur Pusat Studi Al Qur’an)
- Peter
Lesmana (Sekretaris Umum Majelis Tinggi Agama Khonghucu Indonesia)
- Romo
Antonius Benny Susetyo Pr (Rohaniawan, Penasihat Unit Kerja Presiden untuk
Pembinaan Ideologi Pancasila)
Diskusi ini dipimpin oleh Ayu Kartika
Dewi, selaku co-founder SabangMerauke. Menurut Ayu, toleransi harus dialami dan
dirasakan semua orang. Oleh karena itu, dirinya tergerak untuk membuat
pertukaran antar pelajar di Indonesia aigar semua anak muda mau berinteraksi
dan mengenal budaya lain.
“Saya jadi teringat ketika dulu menjadi
guru, di kampung itu yang Muslim hanya main dengan yang Muslim. Yang Kristen
hanya main dengan yang Kristen. Sehingga kami tidak saling mengenal,” kata Ayu.
Dalam diskusi tersebut, Ayu bertanya
kepada semua tokoh agama, bagaimana caranya mengajarkan toleransi beragama
kepada adik, kakak atau saudara di rumah tanpa menghakimi bahwa agama yang lain
itu salah? Berikut jawaban mereka:
Menjadi Teladan
Ada tiga cara yang bisa dilakukan untuk
membimbing anak tentang toleransi yaitu keteladanan, mengendalikan keinginan
diri sendiri, dan memperbaiki kesalahan. Tetapi yang paling penting adalah
memberikan teladan.
“Bicara masalah keteladanan itu adalah
yang paling penting, memang itu nomor satu. Artinya bagaimana kita bisa
mengajarkan kepada anak-anak kita mengenai toleransi kalau kitanya sendiri
tidak memberikan contoh, tidak memberikan teladan toleransi itu seperti apa,’’
kata Peter Lesmana.
Baik di Dalam Keluarga
Sebagai orang tua yang mengajarkan agar
anak tidak menolak terhadap agama lain atau menjadi antipati, maka orang tua
terlebih dahulu harus baik di dalam keluarga. Karena orang tua menjadi panutan
atau ikon dalam kehidupan sehari-hari di keluarga yang mereka lihat.
Wayan mengatakan bahwa ketika seorang
anak baik di rumah, maka saat ia keluar rumah ia menjadi baik saat berinteraksi
dengan sesama.
“Pertama-tama orang tua itu harus baik
dulu di dalam keluarga. Menjadi seorang ayah yang panutan, ikon, simbol. Simbol
kebaikan keseluruhan dalam kehidupan sehari-hari. Dengan merasakan bahwa
nilai-nilai kebaikan dari orang tuanya sendiri bahwa itu baik, maka otomatis
anak itu mau tidak mau, yang melihat panutan atau ikon yang baik itu pasti
melakukan yang baik,’’ katanya.
Saling Melindungi
Di alam semesta ini antarumat manusia
tak cukup hanya toleransi saja, karena kita semua saling membutuhkan seperti
simbiosis mutualisme. Menurut Maha Pandita, dalam agama Buddha diajarkan,
“Kehadiranku ada kamu, dalam diriku ada dirimu, tanpa kamu tidak ada saya”.
Oleh karena itu baik orang tua maupun
anak-anak harus benar-benar menghayati agama yang diyakini dan mempratekannya
dalam kehidupan sehari-hari.
“Dalam keluarga, kakak yang besar
melindungi adik yang kecil. Begitu pun juga dalam masyarakat yang lebih besar.
Komunitas yang lebih banyak seperti mayoritas melindungi yang minoritas,”
ujarnya.
Tak Kenal Maka Tak Sayang
Orang tua dapat mengajarkan kepada
anaknya untuk dapat menerima perbedaaan melalui teori di Indonesia yang sudah
kita kenal, yakni “tak kenal maka tak sayang”. Tidak mungkin kita bisa sayang,
kalau tidak mengenal. Karena semakin kita tidak saling mengenal satu dengan
yang lain, maka semakin kuat tembok pemisah atau sekat yang dibangun, sehingga
kebencian itu sulit dihancurkan.
“Yang bahaya adalah asumsi ketika kita
tidak mengenal. Ketika kita tidak mengenal, maka kita berasumsi yang
lain-laian. Ketika kita saling mengenal, walaupun mencoba asumsikan atau mau
digosipkan atau mau difitnahkan, akan sulit masuknya benih-benih kebencian itu.
Oleh karena itu kuncinya adalah kenal. Semakin kita mengenal semakin kita
sayang terhadap sesama,’’ ucap Pdt. Jose Carol.
Rayakan Perbedaan
Untuk mengajarkan perbedaan kepada
anak-anak, Muchlis M. Hanafi menceritakan pengalaman hidupnya bahwa ia
memperkenalkan kepada anak-anak pesantren untuk berkunjung ke masjid yang lain
supaya mereka saling mengenal mahzab tata ibadah di Islam agar mereka saling
menghormati.
Muchlis mempercayai bahwa semua manusia
yang hidup satu udara dengan kita, maka ia adalah saudara kita.
“Kita harus hidup tenggang rasa, belas
kasih, kita harus bisa hidup harmoni. Bahwa perbedaan itu sesungguhnya bukan sesuatu
yang harus dipertentangkan, perbedaaan itu adalah suatu yang harus kita rayakan
bersama,’’ kata Muchlis.
Tidak Ada yang Salah Dalam Perbedaan
Menurut Romo Antonius Benny Susetyo Pr,
mengungkapkan bahwa perbedaan itu adalah hal yang wajar, dan tak ada yang salah
dalam perbedaan. Karena sejak dulu, kita memang sudah hidup dalam perbedaaan.
Hanya saja, perbedaan itu tidak dikumandangkan.
“Jadi anak-anak harus diajarkan bahwa perbedaan itu wajar dan tidak ada
yang salah. Wong, sejak kecil aja saya main di masjid enggak ada masalah, kok.
Makanya pendidikan kita itu harus mengajarkan toleransi,’’ ucap Romo Benny.
Pendapat
penulis tentang toleransi beragama di Indonesia
Toleransi beragama di Indonesia saat
ini sebetulnya sangat baik dan harmonis walaupun terkadang masih ada beberapa
konflik yang mungkin agak meresahkan seperti terorisme. Namun masyarakat
indonesia dapat menyikapinya dengan positif dan mayoritas menarik kesimpulan
bahwa terorisme bukan sebuah gerakan
dari agama manapun dan semua saling melindungi satu sama lain. Sejauh
ini masyarakat Indonesia bisa hidup rukun berdampingan antara satu dengan yang
lainnya. Hal ini Mungkin karena dari zaman nenek moyang kita selalu menjunjung
tinggi Bhinneka tunggal ika dalam
kehidupan bermasyarakat.
Semua agama mengajarkan kebaikan, tapi
yang dikhawatirkan akhir-akhir ini adalah agama dijadikan alat politik oleh
segelintir orang yang berambisi untuk menjadi pemimpin di Indonesia. Faktanya banyak
sekali bermunculan isu-isu hoax diberbagai media sosial yang mengatasnamakan
agama. Hal seperti ini yang bisa menjadi sumber konflik terlebih lagi jika masyarakat
indonesia mudah terpancing dan tepengaruh oleh isu tersebut. Maka dari itu mari
kita sama-sama menebar kebaikan dan hal positif dimanapun kita berada.
Sumber: https://www.rappler.com/indonesia/ayo-indonesia/190639-cara-mengajar-toleransi-beragama-keluarga
Tidak ada komentar:
Posting Komentar