Dampak penyebab kemiskinan dari teknologi
International LaborOrganization (ILO, 2017) pernah
memperkirakan bahwa risiko dari digitalisasi teknologi telah menghilangkan 86%
pekerjaan sektor garmen dan alas kaki di Vietnam, Kamboja dan Myanmar. Kondisi
serupa juga dialami oleh banyak negara, khususnya negara berkembang. Proyeksi
di Indonesia kurang lebih akan sama. Sektor padat karya yang eksistensi tenaga
kerjanya paling terancam adalah pertanian, industri, dan jasa. Sulit dipungkiri
betapa teknologi berangsur-angsur telah menghilangkan sejumlah pekerjaan,
meskipun teknologi juga menjanjikan pekerjaan baru akan tetapi jumlahnya tidak
cukup berimbang.
Kembali ke topik perkembangan teknologi dan persoalan mesin
vs manusia tadi. Ada baiknya jika kita mulai menelusuri mengapa teknologi yang
ada malah seperti menabuh genderang perang karena merusak eksistensi tenaga
kerja manusia. Logika yang paling sederhana, hal ini bisa terjadi dengan sangat
mudah bisa jadi dikarenakan lemahnya pendidikan dan keterampilan (knowledge and
skills), serta infrastruktur yang memungkinkan sumber daya kurang aktif
bergerak antardaerah dan antarsektor pekerjaan.
Saat pendidikan (baik untuk knowledge maupun skills) sudah
dapat diberkembangkan dengan cepat dan merata seperti saat ini (era
disruption), maka teknologi akan berdampak positif terhadap perekonomian.
Lompatan output (produk domestik bruto/PDB) sangat mungkin bisa langsung
signifikan. Sebagai contoh, pada umumnya negara-negara maju anggota OECD ketika
kita bandingkan rasio tingkat upah terhadap PDB-nya antara medio 1990-an dengan
sekitar 2015-an, maka akan terlihat sejumlah peningkatan walau tidak selalu
bombastis.
Sedangkan pertumbuhan rasio di negara-negara berkembang
tidak selalu sama dengan negara maju karena pola peningkatannya seringkali
bersifat geometris. Artinya peningkatan upah di negara berkembang relatif lebih
lambat dibandingkan peningkatan output. Hal ini diduga, karena perkembangan
dunia pendidikan yang gagal menunjukkan lompatan.
Data yang dihimpun dari Kemenristek Dikti menyebutkan kita
memiliki sekitar 4.578 perguruan tinggi mulai yang berbentuk akademi, sekolah
tinggi, politeknik, institut, dan universitas yang tersebar di seluruh
Indonesia. Akan tetapi hanya segelintir perguruan tinggi yang mampu menembus
jajaran top university di seluruh dunia. Berdasarkan QS World University
Rankings 2018, hanya ada 9 perguruan tinggi di Indonesia yang menembus jajaran
peringkat 1.000 besar dunia.
Kemudian berdasarkan peringkat yang dirilis lembaga 4 International
Colleges & Universities (4icu), hanya ada 7 perguruan tinggi Indonesia yang
menembus jajaran 200 kampus elite se-Asia. Hal ini menunjukkan bahwa daya saing
pendidikan kita tidaklah cukup menggembirakan. Perlu ada inovasi yang lebih
mendalam agar sistem pendidikan yang nanti juga berdampak pada pembentukan
kualitas SDM, bisa selaras dengan perkembangan teknologi massal dan dunia
kerja. Selain itu, aturan sistem pengupahan masih cukup ketat (controlled) juga
perlu disegarkan bentuk kelembagaannya.
Oleh karena itu sudah menjadi tanggung jawab kita bersama
untuk segera menemukan solusi bagaimana idealnya agar perkembangan teknologi
ini tidak merusak tatanan pembangunan sosial yang impresif. Implementasi
teknologi sangat penting dalam pemerintahan (publicpolicy) maupun perekonomian.
Namun perlu disusun secara bertahap dan hati-hati (selected technology) karena
ada barrier SDM dan infrastruktur (fisik dan sosial) yang ketidakmerataannya
begitu nyata. Jika tidak, maka penerapan teknologi bukan mengurangi ketimpangan
dan kemiskinan, tetapi malah sebaliknya.
Kesiapan SDM di birokrasi dalam penerapan teknologi sangat
penting untuk meningkatkan layanan pungutan pajak (e-commerce), mengetahui
performance perekonomian/program setelah diterapkan suatu kebijakan,
optimalisasi pajak, dan lain sebagainya. Sementara itu di sektor swasta,
institusi yang berwenang pada kesiapan dan kualitas SDM (tenaga kerja) juga
harus segera berbenah. Para pengusaha jangan dibiarkan kapok karena kualitas
tenaga kerja kita yang pas-pasan. Apalagi persoalan yang sekarang terjadi
banyak tenaga kerja yang berkarya di luar bidang yang mereka tekuni selama masa
pendidikan (overlapping). Mereka berpikir sederhana, “yang penting dapat
kerja”.
Bahkan alumni-alumni SMK dan pendidikan vokasi yang
seharusnya menjadi tenaga terampil siap pakai, malah tidak sedikit yang
statusnya sebagai pengangguran. Artinya sistem pendidikan kita perlu
ditegakluruskan kembali dengan dunia kerja. Dunia pendidikan akan selamanya
menjadi senjata yang terdepan untuk mencetak generasi yang adaptif, sehingga
tidak gagap dan alergi dengan kemajuan teknologi.
Berikutnya, pemerintah tinggal menyiapkan fasilitas
asimetris dan afirmatif pada sektor-sektor atau wilayah-wilayah ekonomi yang
kondisinya memang membutuhkan bantuan khusus. Kemajuan teknologi seharusnya
mampu dikelola agar menjadi sahabat manusia, bukan malah menjadi musuh tenaga
kerja.
.
Sumber: https://nasional.sindonews.com/read/1264559/18/teknologi-ketimpangan-dan-kemiskinan-1512938140/15
Tidak ada komentar:
Posting Komentar