Rabu, 02 Januari 2019

Teknologi masih menyisakan kemiskinan

Dampak penyebab kemiskinan dari teknologi

International LaborOrganization (ILO, 2017) pernah memperkirakan bahwa risiko dari digitalisasi teknologi telah menghilangkan 86% pekerjaan sektor garmen dan alas kaki di Vietnam, Kamboja dan Myanmar. Kondisi serupa juga dialami oleh banyak negara, khususnya negara berkembang. Proyeksi di Indonesia kurang lebih akan sama. Sektor padat karya yang eksistensi tenaga kerjanya paling terancam adalah pertanian, industri, dan jasa. Sulit dipungkiri betapa teknologi berangsur-angsur telah menghilangkan sejumlah pekerjaan, meskipun teknologi juga menjanjikan pekerjaan baru akan tetapi jumlahnya tidak cukup berimbang.

Kembali ke topik perkembangan teknologi dan persoalan mesin vs manusia tadi. Ada baiknya jika kita mulai menelusuri mengapa teknologi yang ada malah seperti menabuh genderang perang karena merusak eksistensi tenaga kerja manusia. Logika yang paling sederhana, hal ini bisa terjadi dengan sangat mudah bisa jadi dikarenakan lemahnya pendidikan dan keterampilan (knowledge and skills), serta infrastruktur yang memungkinkan sumber daya kurang aktif bergerak antardaerah dan antarsektor pekerjaan.

Saat pendidikan (baik untuk knowledge maupun skills) sudah dapat diberkembangkan dengan cepat dan merata seperti saat ini (era disruption), maka teknologi akan berdampak positif terhadap perekonomian. Lompatan output (produk domestik bruto/PDB) sangat mungkin bisa langsung signifikan. Sebagai contoh, pada umumnya negara-negara maju anggota OECD ketika kita bandingkan rasio tingkat upah terhadap PDB-nya antara medio 1990-an dengan sekitar 2015-an, maka akan terlihat sejumlah peningkatan walau tidak selalu bombastis.

Sedangkan pertumbuhan rasio di negara-negara berkembang tidak selalu sama dengan negara maju karena pola peningkatannya seringkali bersifat geometris. Artinya peningkatan upah di negara berkembang relatif lebih lambat dibandingkan peningkatan output. Hal ini diduga, karena perkembangan dunia pendidikan yang gagal menunjukkan lompatan.

Data yang dihimpun dari Kemenristek Dikti menyebutkan kita memiliki sekitar 4.578 perguruan tinggi mulai yang berbentuk akademi, sekolah tinggi, politeknik, institut, dan universitas yang tersebar di seluruh Indonesia. Akan tetapi hanya segelintir perguruan tinggi yang mampu menembus jajaran top university di seluruh dunia. Berdasarkan QS World University Rankings 2018, hanya ada 9 perguruan tinggi di Indonesia yang menembus jajaran peringkat 1.000 besar dunia.

Kemudian berdasarkan peringkat yang dirilis lembaga 4 International Colleges & Universities (4icu), hanya ada 7 perguruan tinggi Indonesia yang menembus jajaran 200 kampus elite se-Asia. Hal ini menunjukkan bahwa daya saing pendidikan kita tidaklah cukup menggembirakan. Perlu ada inovasi yang lebih mendalam agar sistem pendidikan yang nanti juga berdampak pada pembentukan kualitas SDM, bisa selaras dengan perkembangan teknologi massal dan dunia kerja. Selain itu, aturan sistem pengupahan masih cukup ketat (controlled) juga perlu disegarkan bentuk kelembagaannya.

Oleh karena itu sudah menjadi tanggung jawab kita bersama untuk segera menemukan solusi bagaimana idealnya agar perkembangan teknologi ini tidak merusak tatanan pembangunan sosial yang impresif. Implementasi teknologi sangat penting dalam pemerintahan (publicpolicy) maupun perekonomian. Namun perlu disusun secara bertahap dan hati-hati (selected technology) karena ada barrier SDM dan infrastruktur (fisik dan sosial) yang ketidakmerataannya begitu nyata. Jika tidak, maka penerapan teknologi bukan mengurangi ketimpangan dan kemiskinan, tetapi malah sebaliknya.

Kesiapan SDM di birokrasi dalam penerapan teknologi sangat penting untuk meningkatkan layanan pungutan pajak (e-commerce), mengetahui performance perekonomian/program setelah diterapkan suatu kebijakan, optimalisasi pajak, dan lain sebagainya. Sementara itu di sektor swasta, institusi yang berwenang pada kesiapan dan kualitas SDM (tenaga kerja) juga harus segera berbenah. Para pengusaha jangan dibiarkan kapok karena kualitas tenaga kerja kita yang pas-pasan. Apalagi persoalan yang sekarang terjadi banyak tenaga kerja yang berkarya di luar bidang yang mereka tekuni selama masa pendidikan (overlapping). Mereka berpikir sederhana, “yang penting dapat kerja”.

Bahkan alumni-alumni SMK dan pendidikan vokasi yang seharusnya menjadi tenaga terampil siap pakai, malah tidak sedikit yang statusnya sebagai pengangguran. Artinya sistem pendidikan kita perlu ditegakluruskan kembali dengan dunia kerja. Dunia pendidikan akan selamanya menjadi senjata yang terdepan untuk mencetak generasi yang adaptif, sehingga tidak gagap dan alergi dengan kemajuan teknologi.

Berikutnya, pemerintah tinggal menyiapkan fasilitas asimetris dan afirmatif pada sektor-sektor atau wilayah-wilayah ekonomi yang kondisinya memang membutuhkan bantuan khusus. Kemajuan teknologi seharusnya mampu dikelola agar menjadi sahabat manusia, bukan malah menjadi musuh tenaga kerja.
.
Sumber: https://nasional.sindonews.com/read/1264559/18/teknologi-ketimpangan-dan-kemiskinan-1512938140/15

Tidak ada komentar:

Posting Komentar