Jumat, 11 Januari 2019

Toleransi beragama di Indonesia



6 cara sederhana mengajarkan toleransi beragama dalam keluarga

Hidup dalam perbedaan, baik itu berbeda agama, suku, budaya, dan ras, adalah hal yang biasa, karena memang sejak awal bangsa Indonesia sudah hidup dalam perbedaan.
Para tokoh agama di Tanah Air meyakini semua ajaran agama di dunia ini mengajarkan perdamaian terhadap sesama manusia. Untuk menciptakan kedamaian, harus dimulai dari diri sendiri. Maka baru bisa terciptalah damai terhadap sesama.
Di dalam budaya yang majemuk seperti di Indonesia, sangat penting bagi kita untuk merawat toleransi. Toleransi tidak bisa hanya diajarkan saja, tapi harus dialami dan dirasakan.
Selama perjalanannya lima tahun merawat toleransi di Nusantara, organisasi SabangMerauke mengadakan diversity dinner dengan mengangkat tema diskusi “Merawat Toleransi, Melintas Sekat Religi”, pada akhir November lalu. Acara itu dihadiri oleh 6 tokoh lintas agama, yaitu:
  • I Wayan Kantun Mandara (Ketua Parisada Hindu Dharma Indonesia Jakarta Pusat)
  • Pdt. Jose Carol (Penasihat Sinode Jemaat Kristen Indonesia)
  • Maha Pandita Utama Suhadi Sendjaja (Ketua Umum Parisadha Buddha Dharma Niciren Syosyu Indonesia)
  • Muchlis M. Hanafi (Wakil Direktur Pusat Studi Al Qur’an)
  • Peter Lesmana (Sekretaris Umum Majelis Tinggi Agama Khonghucu Indonesia)
  • Romo Antonius Benny Susetyo Pr (Rohaniawan, Penasihat Unit Kerja Presiden untuk Pembinaan Ideologi Pancasila)
Diskusi ini dipimpin oleh Ayu Kartika Dewi, selaku co-founder SabangMerauke. Menurut Ayu, toleransi harus dialami dan dirasakan semua orang. Oleh karena itu, dirinya tergerak untuk membuat pertukaran antar pelajar di Indonesia aigar semua anak muda mau berinteraksi dan mengenal budaya lain.
“Saya jadi teringat ketika dulu menjadi guru, di kampung itu yang Muslim hanya main dengan yang Muslim. Yang Kristen hanya main dengan yang Kristen. Sehingga kami tidak saling mengenal,” kata Ayu.
Dalam diskusi tersebut, Ayu bertanya kepada semua tokoh agama, bagaimana caranya mengajarkan toleransi beragama kepada adik, kakak atau saudara di rumah tanpa menghakimi bahwa agama yang lain itu salah? Berikut jawaban mereka:

Menjadi Teladan
Ada tiga cara yang bisa dilakukan untuk membimbing anak tentang toleransi yaitu keteladanan, mengendalikan keinginan diri sendiri, dan memperbaiki kesalahan. Tetapi yang paling penting adalah memberikan teladan.
“Bicara masalah keteladanan itu adalah yang paling penting, memang itu nomor satu. Artinya bagaimana kita bisa mengajarkan kepada anak-anak kita mengenai toleransi kalau kitanya sendiri tidak memberikan contoh, tidak memberikan teladan toleransi itu seperti apa,’’ kata Peter Lesmana.
Baik di Dalam Keluarga
Sebagai orang tua yang mengajarkan agar anak tidak menolak terhadap agama lain atau menjadi antipati, maka orang tua terlebih dahulu harus baik di dalam keluarga. Karena orang tua menjadi panutan atau ikon dalam kehidupan sehari-hari di keluarga yang mereka lihat.
Wayan mengatakan bahwa ketika seorang anak baik di rumah, maka saat ia keluar rumah ia menjadi baik saat berinteraksi dengan sesama.
“Pertama-tama orang tua itu harus baik dulu di dalam keluarga. Menjadi seorang ayah yang panutan, ikon, simbol. Simbol kebaikan keseluruhan dalam kehidupan sehari-hari. Dengan merasakan bahwa nilai-nilai kebaikan dari orang tuanya sendiri bahwa itu baik, maka otomatis anak itu mau tidak mau, yang melihat panutan atau ikon yang baik itu pasti melakukan yang baik,’’ katanya.
Saling Melindungi
Di alam semesta ini antarumat manusia tak cukup hanya toleransi saja, karena kita semua saling membutuhkan seperti simbiosis mutualisme. Menurut Maha Pandita, dalam agama Buddha diajarkan, “Kehadiranku ada kamu, dalam diriku ada dirimu, tanpa kamu tidak ada saya”.
Oleh karena itu baik orang tua maupun anak-anak harus benar-benar menghayati agama yang diyakini dan mempratekannya dalam kehidupan sehari-hari.
“Dalam keluarga, kakak yang besar melindungi adik yang kecil. Begitu pun juga dalam masyarakat yang lebih besar. Komunitas yang lebih banyak seperti mayoritas melindungi yang minoritas,” ujarnya.
Tak Kenal Maka Tak Sayang
Orang tua dapat mengajarkan kepada anaknya untuk dapat menerima perbedaaan melalui teori di Indonesia yang sudah kita kenal, yakni “tak kenal maka tak sayang”. Tidak mungkin kita bisa sayang, kalau tidak mengenal. Karena semakin kita tidak saling mengenal satu dengan yang lain, maka semakin kuat tembok pemisah atau sekat yang dibangun, sehingga kebencian itu sulit dihancurkan.
“Yang bahaya adalah asumsi ketika kita tidak mengenal. Ketika kita tidak mengenal, maka kita berasumsi yang lain-laian. Ketika kita saling mengenal, walaupun mencoba asumsikan atau mau digosipkan atau mau difitnahkan, akan sulit masuknya benih-benih kebencian itu. Oleh karena itu kuncinya adalah kenal. Semakin kita mengenal semakin kita sayang terhadap sesama,’’ ucap Pdt. Jose Carol.
Rayakan Perbedaan
Untuk mengajarkan perbedaan kepada anak-anak, Muchlis M. Hanafi menceritakan pengalaman hidupnya bahwa ia memperkenalkan kepada anak-anak pesantren untuk berkunjung ke masjid yang lain supaya mereka saling mengenal mahzab tata ibadah di Islam agar mereka saling menghormati.
Muchlis mempercayai bahwa semua manusia yang hidup satu udara dengan kita, maka ia adalah saudara kita.
“Kita harus hidup tenggang rasa, belas kasih, kita harus bisa hidup harmoni. Bahwa perbedaan itu sesungguhnya bukan sesuatu yang harus dipertentangkan, perbedaaan itu adalah suatu yang harus kita rayakan bersama,’’ kata Muchlis.
Tidak Ada yang Salah Dalam Perbedaan
Menurut Romo Antonius Benny Susetyo Pr, mengungkapkan bahwa perbedaan itu adalah hal yang wajar, dan tak ada yang salah dalam perbedaan. Karena sejak dulu, kita memang sudah hidup dalam perbedaaan. Hanya saja, perbedaan itu tidak dikumandangkan.
“Jadi anak-anak harus diajarkan bahwa perbedaan itu wajar dan tidak ada yang salah. Wong, sejak kecil aja saya main di masjid enggak ada masalah, kok. Makanya pendidikan kita itu harus mengajarkan toleransi,’’ ucap Romo Benny.
Pendapat penulis tentang toleransi beragama di Indonesia
Toleransi beragama di Indonesia saat ini sebetulnya sangat baik dan harmonis walaupun terkadang masih ada beberapa konflik yang mungkin agak meresahkan seperti terorisme. Namun masyarakat indonesia dapat menyikapinya dengan positif dan mayoritas menarik kesimpulan bahwa terorisme bukan sebuah gerakan  dari agama manapun dan semua saling melindungi satu sama lain. Sejauh ini masyarakat Indonesia bisa hidup rukun berdampingan antara satu dengan yang lainnya. Hal ini Mungkin karena dari zaman nenek moyang kita selalu menjunjung tinggi Bhinneka tunggal ika dalam kehidupan bermasyarakat.

Semua agama mengajarkan kebaikan, tapi yang dikhawatirkan akhir-akhir ini adalah agama dijadikan alat politik oleh segelintir orang yang berambisi untuk menjadi pemimpin di Indonesia. Faktanya banyak sekali bermunculan isu-isu hoax diberbagai media sosial yang mengatasnamakan agama. Hal seperti ini yang bisa menjadi sumber konflik terlebih lagi jika masyarakat indonesia mudah terpancing dan tepengaruh oleh isu tersebut. Maka dari itu mari kita sama-sama menebar kebaikan dan hal positif dimanapun kita berada.

Sumber: https://www.rappler.com/indonesia/ayo-indonesia/190639-cara-mengajar-toleransi-beragama-keluarga


Rabu, 02 Januari 2019

Teknologi masih menyisakan kemiskinan

Dampak penyebab kemiskinan dari teknologi

International LaborOrganization (ILO, 2017) pernah memperkirakan bahwa risiko dari digitalisasi teknologi telah menghilangkan 86% pekerjaan sektor garmen dan alas kaki di Vietnam, Kamboja dan Myanmar. Kondisi serupa juga dialami oleh banyak negara, khususnya negara berkembang. Proyeksi di Indonesia kurang lebih akan sama. Sektor padat karya yang eksistensi tenaga kerjanya paling terancam adalah pertanian, industri, dan jasa. Sulit dipungkiri betapa teknologi berangsur-angsur telah menghilangkan sejumlah pekerjaan, meskipun teknologi juga menjanjikan pekerjaan baru akan tetapi jumlahnya tidak cukup berimbang.

Kembali ke topik perkembangan teknologi dan persoalan mesin vs manusia tadi. Ada baiknya jika kita mulai menelusuri mengapa teknologi yang ada malah seperti menabuh genderang perang karena merusak eksistensi tenaga kerja manusia. Logika yang paling sederhana, hal ini bisa terjadi dengan sangat mudah bisa jadi dikarenakan lemahnya pendidikan dan keterampilan (knowledge and skills), serta infrastruktur yang memungkinkan sumber daya kurang aktif bergerak antardaerah dan antarsektor pekerjaan.

Saat pendidikan (baik untuk knowledge maupun skills) sudah dapat diberkembangkan dengan cepat dan merata seperti saat ini (era disruption), maka teknologi akan berdampak positif terhadap perekonomian. Lompatan output (produk domestik bruto/PDB) sangat mungkin bisa langsung signifikan. Sebagai contoh, pada umumnya negara-negara maju anggota OECD ketika kita bandingkan rasio tingkat upah terhadap PDB-nya antara medio 1990-an dengan sekitar 2015-an, maka akan terlihat sejumlah peningkatan walau tidak selalu bombastis.

Sedangkan pertumbuhan rasio di negara-negara berkembang tidak selalu sama dengan negara maju karena pola peningkatannya seringkali bersifat geometris. Artinya peningkatan upah di negara berkembang relatif lebih lambat dibandingkan peningkatan output. Hal ini diduga, karena perkembangan dunia pendidikan yang gagal menunjukkan lompatan.

Data yang dihimpun dari Kemenristek Dikti menyebutkan kita memiliki sekitar 4.578 perguruan tinggi mulai yang berbentuk akademi, sekolah tinggi, politeknik, institut, dan universitas yang tersebar di seluruh Indonesia. Akan tetapi hanya segelintir perguruan tinggi yang mampu menembus jajaran top university di seluruh dunia. Berdasarkan QS World University Rankings 2018, hanya ada 9 perguruan tinggi di Indonesia yang menembus jajaran peringkat 1.000 besar dunia.

Kemudian berdasarkan peringkat yang dirilis lembaga 4 International Colleges & Universities (4icu), hanya ada 7 perguruan tinggi Indonesia yang menembus jajaran 200 kampus elite se-Asia. Hal ini menunjukkan bahwa daya saing pendidikan kita tidaklah cukup menggembirakan. Perlu ada inovasi yang lebih mendalam agar sistem pendidikan yang nanti juga berdampak pada pembentukan kualitas SDM, bisa selaras dengan perkembangan teknologi massal dan dunia kerja. Selain itu, aturan sistem pengupahan masih cukup ketat (controlled) juga perlu disegarkan bentuk kelembagaannya.

Oleh karena itu sudah menjadi tanggung jawab kita bersama untuk segera menemukan solusi bagaimana idealnya agar perkembangan teknologi ini tidak merusak tatanan pembangunan sosial yang impresif. Implementasi teknologi sangat penting dalam pemerintahan (publicpolicy) maupun perekonomian. Namun perlu disusun secara bertahap dan hati-hati (selected technology) karena ada barrier SDM dan infrastruktur (fisik dan sosial) yang ketidakmerataannya begitu nyata. Jika tidak, maka penerapan teknologi bukan mengurangi ketimpangan dan kemiskinan, tetapi malah sebaliknya.

Kesiapan SDM di birokrasi dalam penerapan teknologi sangat penting untuk meningkatkan layanan pungutan pajak (e-commerce), mengetahui performance perekonomian/program setelah diterapkan suatu kebijakan, optimalisasi pajak, dan lain sebagainya. Sementara itu di sektor swasta, institusi yang berwenang pada kesiapan dan kualitas SDM (tenaga kerja) juga harus segera berbenah. Para pengusaha jangan dibiarkan kapok karena kualitas tenaga kerja kita yang pas-pasan. Apalagi persoalan yang sekarang terjadi banyak tenaga kerja yang berkarya di luar bidang yang mereka tekuni selama masa pendidikan (overlapping). Mereka berpikir sederhana, “yang penting dapat kerja”.

Bahkan alumni-alumni SMK dan pendidikan vokasi yang seharusnya menjadi tenaga terampil siap pakai, malah tidak sedikit yang statusnya sebagai pengangguran. Artinya sistem pendidikan kita perlu ditegakluruskan kembali dengan dunia kerja. Dunia pendidikan akan selamanya menjadi senjata yang terdepan untuk mencetak generasi yang adaptif, sehingga tidak gagap dan alergi dengan kemajuan teknologi.

Berikutnya, pemerintah tinggal menyiapkan fasilitas asimetris dan afirmatif pada sektor-sektor atau wilayah-wilayah ekonomi yang kondisinya memang membutuhkan bantuan khusus. Kemajuan teknologi seharusnya mampu dikelola agar menjadi sahabat manusia, bukan malah menjadi musuh tenaga kerja.
.
Sumber: https://nasional.sindonews.com/read/1264559/18/teknologi-ketimpangan-dan-kemiskinan-1512938140/15